Selama reformasi berlangsung kondisi hak asasi manusia tidak menjadi lebih baik
dibandingkan ketika rejim Suharto berkuasa. Aksi-aksi kekerasan dan bentuk-bentuk
pelanggaran hak asasi manusia terus berlangsung dan memprihatinkan. Hampir semua
peristiwa pelanggaran hak asasi manusia itu berkaitan erat dengan operasi-operasi militer
penumpasan separatisme yang dilancarkan. Terbukanya ruang berekspresi dan
penyampaian pendapat ketika reformasi bergulir memberi kesempatan yang luas kepada
masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasinya. Namun, ekspresi masyarakat Papua
ditanggapi dengan tindakan represif aparat keamanan, apalagi ketika aspirasi merdeka
terus didengungkan. Menjaga keutuhan NKRI menjadi legitimasi aparat keamanan untuk
terus melakukan pengejaran dan penumpasan Operasi Papua. Akibatnya aksi kekerasan
kerap dialami masyarakat biasa.
Beroperasinya perusahaan-perusahaan besar di Papua tetap mengambil peran atas
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Eksploitasi besar-besaran, kerusakan
lingkungan dan penyerobotan hak adat terus berlangsung. Tuntutan masyarakat atas
perlakuan tidak adil dijawab dengan kehadiran aparat keamanan dan operasi-operasi
penumpasan separatisme.
Sementara itu, berlakunya otonomi khusus belum menjadikan kondisi hak asasi manusia
lebih baik dari sebelumnya. Ketidaksiapan pemda dan campur tangan pusat menimbulkan
konflik di tengah masyarakat. Sementara itu, dinamika politik local, praktik-praktik
korupsi menjadikan Papua terus dalam keterpurukan. Sehingga berbagai bentuk hak
ekonomi, sosial dan budaya terabaikan.
A. Catatan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Papua Pra-1998: Operasi Militer
Papua dan Penetrasi Modal
Lahirnya Orde Baru di tahun 1965 berakibat buruk pula bagi Papua. Milter Indonesia di
bawah sandi Operasi Wisnumurti I dan II
1
semakin meningkatkan serangannya untuk
memaksa orang Papua berintegrasi dengan NKRI. Sejak itu pula rangkaian kekerasan oleh
militer terus meningkat. Pada tahun-tahun sebelum Soeharto berkuasa, tercatat 23 orang
ditembak mati di Kebar dan Manokwari dalam kurun waktu Juli hingga Agustus 1965.
Sementara itu, di awal-awal orde baru, pada bulan Agustus 1966 hingga 1967 sekitar 500
1
Lihat: Sampari, edisi 02 Februari 2006 “Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua”, hlm 9 2
orang ditahan dan 3 orang masyarakat Papua dieksekusi oleh TNI di Teminabuan.
2
Hingga
akhirnya tiba penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, di
mana sekitar seribu orang Papua dipaksa memilih integrasi dengan Indonesia.
3
Pelaksanaan Pepera yang bermasalah dan hasilnya yang manipulatif memunculkan aksi
penentangan oleh masyarakat Papua yang tidak terlibat dalam proses tersebut. Aksi
penentangan ini mulai mengadakan perlawanan di bawah Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Namun, perlawanan ini justru meningkatkan operasi-operasi militer di Papua
untuk menumpas separatisme. Di antaranya tahun 1970-1985 dilaksanakan Operasi
Tumpas oleh TNI dengan target menggempur daerah yang dianggap basis OPM. Tahun
1977 dikerahkan pesawat pembom, helicopter dan pasukan darat ke wilayah Jayawijaya
yang menghancurkan 17 desa.
4
Dalam kaitannya dengan operasi militer, di tahun 1990-an pembunuhan dan pembantaian
terus berlanjut dan korban terus berjatuhan. Di antaranya tahun 1994 TNI-AD menangkap
4 orang warga Timika yang kemudian dinyatakan hilang. TNI-AD juga menangkap dan
menyiksa 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan pada tahun 1994, di antaranya Mama
Yosepha Alomang.
Pada bulan Mei 1995 pasukan Yonif 752 kembali melakukan pembunuhan kilat terhadap
11 warga, termasuk pendeta, di kampong Hoea. Sementara pada tahun 1996 terjadi
penyanderaan oleh kelompok sipil bersenjata terhadap warga sipil Indonesia, Belanda,
Inggris, dan Jerman. Operasi pembebasan sandera tersebut telah mengakibatkan 60 orang
warga sipil terbunuh dan 7 wanita menjadi korban perkosaan.
Akibat penerapan operasi militer, selama kurun waktu di bawah rejim orde baru,
setidaknya telah 100 ribu lebih penduduk asli Papua terbunuh.
5
Sasaran pembunuhan tidak
saja pada orang-orang yang dianggap sebagai tokoh OPM, tetapi juga terhadap masyarakat
Papua yang dianggap sebagai basis kekuatan OPM.
Penetrasi modal di Papua memberi warna bagi bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi
manusia di Papua. Di antaranya kehadiran perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang
eksploitasi sumber daya alam. Dua tahun sebelum Pepera dilaksanakan, Pemerintah
Indonesia telah memberikan ijin kepada P.T. Freeport Indonesia untuk mengeksploitasi
tembaga dan emas di Papua. Freeport mulai beroperasi di Papua di saat status Papua
belum resmi bergabung dengan NKRI atas dasar kontrak karya dengan Pemerintah
Indonesia. Lokasi tambang Freeport sebenarnya merupakan tempat berburu dan hal-hal
sakral lainnya bagi suku Amungme. Wilayah itu kemudian dijadikan kota perusahaan
yang bernama Tembagapura. Sejak beroperasinya Freeport di wilayah itu, tujuh suku di
sekitar areal tambang,
6
khususnya suku Amungme dan suku Kamoro, menjadi korban.
Begitu pula dengan kehadiran perusahaan-perusahaan kayu di Papua yang sebagian besar
milik keluarga dan kroni Soeharto dan petinggi-petinggi militer. Pemain terbesar adalah
2
Ibid
3
Lihat: Hilmar Farid dan Rikardo Simarmata, Transitional Justice di Indonesia: Sebuah Laporan Pemetaan,
draft final April 2003.
4
Lihat: Sampari, edisi 02 Februari 2006 “Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua”, hlm 9
5
Sampari, edisi 02 Februari 2006 “Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua”
6
Ketujuh suku itu adalah Amungme, Kamoro, Nduga, Ekari/Mee, Lani, Damal, dan Moni. 3
Djajanti Group, yang pemegang sahamnya termasuk keluarga Suharto serta mantan
pejabat-pejabat tinggi dan petinggi-petinggi milter. Perusahaan lainnya adalah Barito
Pacific Timber dan Hanurata.
7
Aktivitas-aktivitas penebangan hutan tersebut sebagian
dilakukan di wilayah hutan-hutan adat. Akibatnya menimbulkan konflik dengan
masyarakat adat di sekitarnya. Terkadang, perusahaan-perusahaan yang memiliki ijin HPH
kebanyakan tidak mengindahkan batas-batas wilayah HPH dengan hutan adat yang
dikeramatkan dan tempat berburu. Selain itu, besaran ganti rugi sering lebih kecil dari
yang diharapkan oleh masyarakat.
Kehadiran perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam Papua telah
menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Baik itu berupa perampasan tanah,
kehilangan akses ekonomi, kerusakan lingkungan maupun maupun pelanggaran terhadap
hak-hak masyarakat adat lainnya. Protes-protes masyarakat merupakan ancaman bagi
keberlangsungan perusahaan-perusahaan di sana sehingga tenaga keamanan sangat
dibutuhkan. Aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan bersimbiosis untuk menghadapi
perlawanan-perlawanan masyarakat Papua. Pos-pos pengamanan didirikan berdampingan
dengan perusahaan. Bahkan, Perusahan-perusahaan besar di Papua menyediakan dana
khusus untuk operasi-operasi pengamanan. Sementara itu, pos-pos militer dan polisi
sengaja ditempatkan lokasi konsesi, dan warga yang membuat ulah dituding sebagai
separatis.
8
Gangguan keamanan melegitimasi penempatan-penempatan sejumlah pasukan
di areal-areal eksploitasi.
Akibatnya, kekerasan-kekerasan di Papua terjadi pula atas dukungan perusahaanperusahaan besar di Papua. Protes-protes masyarakat terhadap perlakukan perusahaan
dihadapi dengan operasi militer, bahkan protes masyarakat dianggap sebagai bagian dari
gerakan separatisme. Sehingga kekerasan, intimidasi, penculikan, pembunuhan dan
bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia kerap dialami bagi mereka yang menuntut
keadilan kepada perusahaan.
Beberapa peristiwa yang berkaitan dengan hal ini di antaranya penangkapan dan
penyiksaan yang dilakukan TNI-AD terhadap 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan
pada tahun 1994. Perlakuan tersebut terkait erat dengan tuntutan masyarakat terhadap
aktivitas Freeport di Papua. Begitu pula dengan peristiwa pembunuhan pada bulan Mei
1995 dan Peristiwa penyanderaan pada tahun 1996.
B. Catatan Kondisi Hak Asasi Manusia Di Papua Periode 1998-2006
Perubahan politik negera yang terjadi pada tahun 1998 belum membawa perubahan yang
cukup berarti pada kondisi hak asasi manusia di Papua. Aksi demonstrasi dan tuntutan
kemerdekaan serta pengibaran Bintang Kejora melegitimasi keberlanjutan operasi-operasi
penumpasan separatisme di tahun-tahun sebelum era reformasi. Sehingga pengerahan dan
penambahan pasukan diamini Jakarta. Akibatnya, operasi pembunuhan, penyisiran,
penculikan, penyergapan ke kampung-kampung dan asrama mahasiswa serta bentukbentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya masih kerap terjadi dalam kurun waktu
1998-2006.
7
Lihat: Laporan ICG Asia, hlm 17
8
Lihat: Ibid hlm 17 4
Sementara itu, aktivitas perusahaan-perusahaan eksploitasi masih menunjukkan perannya
dalam berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Selain perusahaan lama, pada
kurun waktu 1999-2006 hadir pula pemain baru yang melakukan eksploitasi. Peristiwa
berdarah dan kekerasan lain masih muncul berkaitan dengan akitivitas perusahaanperusahaan ini. Laju eksploitasi terlihat semakin menggila dengan adanya prakti-praktik
illegal logging. Akibatnya, perampasan tanah dan hutan adat, perusakan lingkungan terus
berlangsung di Papua. Tuntutan masyarakat Papua terhadap aktivitas perusahaan berujung
pada bentuk-bentuk kekerasan oleh aparat keamanan.
Adanya perubahan status Papua ke pemerintahan otonomi khusus belum juga mampu
menunjukkan perubahan yang signifikan. Ketidaksiapan pemerintah daerah dalam
menjalankan otonomi khusus telah menimbulkan persoalan baru dalam generasi
pelanggaran hak asasi manusia. Penyakit menular terus mewabah dan tak terkendali,
bencana kelaparan kerap terjadi, dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya, seperti
pendidikan dan kesehatan, terus terlantar. Pemerintah daerah turut menjadi ancaman yang
serius bagi pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia di Papua. Tidak terbukanya
Jakarta dan permainan politik elit lokal menambah runyam kondisi Papua. Kerusuhan
massal dan bentrok massa kerap terjadi berkaitan dengan isu pemekaran wilayah Papua
menjadi tiga provinsi. Sehingga kondisi Papua bukan semakin baik malah semakin pelik.
Secara umum, kondisi hak asasi manusia di Papua dalam kurun waktu 1998-2006 dapat
dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan
dengan rangkaian pelaksanaan operasi-operasi militer dan intelijen; pelanggaran hak asasi
manusia yang berkaitan dengan beroperasinya perusahaan-perusahaan besar di Papua;
kondisi hak asasi manusia yang berupa berupa peristiwa-peristiwa kelaparan, serangan
penyakit dan gagal panen yang mengakibatkan kematian atau ancaman kematian.
1. Operasi Penumpasan Separatisme dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua
Runtuhnya rejim orde baru menimbulkan harapan baru di kalangan masyarakat Papua
bahwa ketidakadilan di masa lalu dapat terungkap. Masyarakat sipil dan mahasiswa
menggelar berbagai aksi dan protes menuntut agar pemerintah menyelidiki kasus-kasus
kekerasan Soeharto; pengendalian perampasan sumber daya alam; persoalan transmigrasi;
penarikan mundur pasukan militer di Papua; dll. Ruang gerak masyarakat sipil makin
terbuka lebar bahkan masyarakat Papua mulai berani secara terbuka mengibarkan Bintang
Kejora. Penyaluran aspirasi masyarakat yang dinilai sebagai ancaman terhadap keutuhan
NKRI dan bahaya separatisme telah mengundang aparat keamanan untuk bertindak
represif, walaupun saat itu era reformasi telah berlangsung. Tindakan refresif aparat
keamanan di antaranya adalah penanganan masalah pengibaran Bintang Kejora di Sorong
dan Biak pada bulan Juli 1998. Dalam peristiwa itu dilaporkan puluhan orang terbunuh
oleh aparat militer dan polisi.
Tindakan-tindakan aparat keamanan yang represif dalam menangani berbagai aksi
demonstrasi di awal-awal reformasi, turut memicu perubahan tuntutan masyarakat menjadi
tuntutan merdeka. Masyarakat sipil Papua akhirnya menghimpun kekuatan untuk
mengusung tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah pusat. Di antaranya dengan cara
membentuk suatu forum yang dapat menyatukan berbagai aspirasi masyarakat. Dalam
suasana seperti itu, pada bulan Agustus 1998, sejumlah tokoh masyarakat Papua, di 5
antaranya sejumlah pemimpin gereja, tokoh politik, intelektual dan aktivis LSM
membentuk Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (FORERI).
Arus reformasi yang sampai ke Papua mengharuskan aparat keamanan menahan diri.
Sementara itu aspirasi merdeka terus meluas di daerah-daerah Papua. Hingga akhirnya
terjadi dialog masyarakat Papua yang diwakili Tim 100 dengan Presiden Habibie pada
tanggal 22 Februari 1999. Dialog tersebut diselenggarakan untuk menyampaikan aspirasi
Papua merdeka.
Dialog yang berjalan lancar dan tanggapan Jakarta yang terlihat simpati melambungkan
mimpi untuk merdeka. Sehingga respon masyarakat Papua setelah pertemuan dengan
Presiden Habibie dijawab sangat antusias sehingga persiapan-persiapan menyambut
merdeka dilakukan. Di seluruh wilayah Papua didirikan pos-pos komando tempat
bertemunya masyarakat Papua setempat sambil menunggu pengakuan kemerdekaan dari
Pusat.
9
Tentu saja hal ini menjadi kekhawatiran aparat keamanan tentang keberlangsungan
Papua dalam NKRI. Sampai akhirnya Kapolda Papua pada tanggal 17 April 1999
mengeluarkan maklumat yang berisi instruksi untuk membubarkan segala posko dalam
jangka waktu beberapa hari saja.
10
Maklumat ini menyinggung perasaan aspirasi merdeka
dan masyarakat Papua berang. Maklumat itu sebenarnya merupakan salah satu pintu
masuk aparat keamanan untuk mengendalikan perjuangan masyarakat Papua. Pengibaran
Bintang Kejora di Sorong tanggal 5 Juli 1999 dijadikan alasan oleh aparat keamanan untuk
menghentikan aktivitas posko di Sorong.
11
Sementara itu, Jakarta sibuk sendiri untuk membelah Papua menjadi tiga propinsi tanpa
melibatkan masyarakat Papua. Tindakan ini disinyalir untuk memecah belah masyarakat
Papua yang mulai menyimpul dalam satu wadah perjuangannya. Bahkan pemerintah
sempat melantik dua gubernur baru pada tanggal 11 Oktober 1999. Tentu saja usaha
pemerintah mendapat kecaman dan penolakan dari masyarakat Papua sehingga
demonstrasi kembali terjadi dari tanggal 11 sampai 17 Oktober 1999 di depan Kantor
Gubernur.
12
Sikap Jakarta ini dianggap masyarakat Papua sebagai tindakan sepihak tanpa
mendengarkan aspirasi masyarakat.
Kekuatan masyarakat sipil Papua terus menggumpal ketika diadakan rapat akbar pada
tanggal 12 November 1999 di Sentani. Dari pertemuan itu keluar himbauan untuk
mengibarkan Kejora di seluruh Papau mulai tanggal 1 Desember 1999 hingga 1 Mei 2000
sebagai batas waktu yang ditetapkan untuk merdeka.
13
Dari rapat itu diangkat Theys Hiyo
Eluay sebagai pemimpin besar rakyat Papua sedangkan Yorris diangkat sebagai pimpinan
masyarakat Papua di luar tanah Papua.
14
Tuntutan merdeka ditambah pula tuntutan untuk
mengganti nama Irian Jaya dengan Papua.
Situasi Papua yang terus berkembang mengharuskan Presiden terpilih pada Pemilu 1999,
Gus Dur, mengadakan kunjungan ke Papua untuk mengadakan dialog pada tanggal 31
9
Lihat: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, “Memoria Passionis: Aspirasi Merdeka
Masyarakat Tanah Papua dan Perjuangan Demokrasi Bangsa Indonesia Awal Tahun 2000”, hlm. 15.
10
Lihat: Ibid
11
Lihat: Ibid
12
Lihat Ibid, hlm 15
13
Lihat: Ibid
14
Ibid 6
Desember 1999. Secara resmi Gus Dur menyampaikan maaf atas terjadinya berbagai
bentuk pelanggaran hak asasi manusia selama ini kepada masyarakat Papua. Ia juga
menentramkan masyarakat Papua melalui sikapnya yang setuju tentang perubahan Irian
Jaya menjadi Papua. Di sisi lain, secara tegas Gus Dur tidak akan memberikan kesempatan
terjadinya pemisahan Papua dari NKRI. Pernyataan Gus Dur tersebut dimanfaatkan oleh
aparat keamanan untuk meredam aspirasi merdeka, pernyataan itu secara diam-diam
dimaknai sebagai restu terus berlanjutnya operasi militer dan intelijen di tanah Papua.
Di awal tahun 2000 setelah rapat akbar tahun 1999 dibentuk Dewan Presidum Papua
(DPP). Theys Hiyo Eluay terpilih sebagai ketua, sementara wakilnya adalah Tom Beanal
yang juga Ketua Lembaga Masyarakat Adat (Lemasa) Suku Amungme, di Timika.
Sementara Sekjen Presidium DPP ditunjuk Thaha Mohamad Alhamid. DPP dilengkapi
pula dengan Satuan Tugas Papua yang komandannya adalah Boy Eluai.
Aspirasi merdeka semakin kencang didengungkan dan mendapat dukungan luas sampai ke
pelosok-pelosok Papua. Perekrutan-perekrutan anggota Satgas terus dilakukan di berbagai
daerah di Papua. Dukungan luas masyarakat Papua tampak nyata ketika diadakan Kongres
Papua II pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000.
15
Ribuan massa berdatangan dan berkumpul --
dengan pakaian khas mereka dan dilengkapi persenjataan tradisional -- di sekitar gedung
tempat Kongres berlangsung. Mereka ingin memastikan aspirasi merdeka menjadi agenda
utama kongres tersebut. Kongres ini berjalan tertib walaupun hanya dijaga satgas Papua
bentukan DPP. Bahkan Kapolda sempat memuji Satgas Papua terhadap suksesnya
menjaga keamanan kongres.
Dalam Kongres II Rakyat Papua yang dihadiri sekitar tiga ribu peserta itu dihasilkan salah
satu resolusi yang menyatakan rakyat Papua menolak bersatu dalam NKRI. Aparat
keamanan -- yang selama kepemimpinan Gus Dur terlihat menahan diri -- menganggap hal
tersebut sebagai ancaman keutuhan NKRI. Begitu pula DPR RI periode 1999-2004 yang
secara resmi menyatakan sikap menolak keras keputusan Kongres Rakyat Papua II. DPR
RI melalui ketua DPR Akbar Tanjung dan seluruh wakil ketua DPR dan Sekjen DPR,
menyatakan bahwa hasil kongres merupakan tindakan separatisme dan tindakan makar.
DPR juga mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas dalam usaha
mencegah meluasnya gerakan separatisme tersebut dengan mengedepankan cara-cara
persuasif.
16
DPR RI juga meminta TNI dan Polri menunjukkan kesungguhan bertindak
tegas dalam menyikapi ancaman keutuhan NKRI tersebut.
17
Sementara itu TNI, melalui
KSAD Jenderal, Tyasno Sudarto secara tegas mengatakan bahwa bentuk NKRI mencakup
wilayah Sabang-Merauke adalah final. Sehingga setiap upaya yang mengarah pada
disintegrasi bangsa tidak akan ditolerir. TNI AD mengimbau kepada segenap komponen
bangsa untuk mengutuk dengan keras upaya pihak-pihak yang telah mengarah pada
disintegrasi bangsa.
18
15
Kongres Papua I dianggap telah dilaksanakan pada tahun 196. Kongres II tersebut mendapat dukungan
dari Presiden Gus Dur bahkan untuk membiayai kongres tersebut pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden
Abdurrahman Wahid, membantu Panitia dengan dana milyaran rupiah dan acara yang dihadiri sekitar 3.000
peserta itu. Lihat: KOMPAS - Rabu, 25 Apr 2001 Theys Eluay: Saya Siap Disidangkan
16
KOMPAS - Kamis, 08 Jun 2000, “Pemerintah Tetap Utamakan Tindakan Persuasif di Papua”
17
Ibid
18
KOMPAS - Sabtu, 10 Jun 2000, “Tokoh Papua Hanya Bersedia Berdialog Dengan Presiden”. Dukungan
bagi integrasi teritorial Indonesia terus berdatangan. Setelah PM Australia John Howard dan Presiden
Filipina Joseph Estrada menegaskan dukungannya bagi integrasi teritorial Indonesia, begitu pula dengan 7
Setelah kongres tersebut, Polda Papua menunjukkan sikapnya dengan memanggil dan
memeriksa tiga orang anggota PDP.
19
Selain itu, beberapa orang PDP juga diperiksa oleh
Polda, termasuk Pendeta Herman Awom. Akhirnya lima orang ditetapkan sebagai
tersangka Makar, yaitu: Theys Hiyo Eluay sebagai Ketua Umum PDP, Thaha Alhamid
sebagai Sekretaris Jenderal PDP, Pdt Herman Awom sebagai moderator, John Mambor
dan Don Flassy sebagai anggota PDP.
20
Sementara itu, aparat keamanan juga mendesak kepada PDP untuk segera menghimbau
massanya agar menurunkan dan menghentikan pengibaran Bendara Bintang Kejora yang
berlangsung selama ini. Akhirnya terjadi dialog antara PDP, Kapolda Papua – yang saat
itu dijabat oleh Brigjen (Pol) SY Wenas, Panglima Kodam dan Pemda pada tanggal 3
Oktober 2000 yang menyepakati bahwa batas waktu penurunan Bendera Bintang Kejora
adalah tanggal 19 Oktober 2000 yang akan dilaksanakan secara damai.
21
Namun, pada
tanggal 6 Oktober 2000 aparat keamanan menurunkan secara paksa bendera Bintang
Kejora di Wamena. Operasi ini akhirnya memuncak dalam suatu kontak senjata aparat
keamanan dan masyarakat setempat. Akibatnya puluhan orang meninggal dunia dan
terjadi gelombang pengungsian secara besar-besaran, lebih-lebih penduduk non-Papua.
22
Penurunan bendera secara paksa juga terjadi di berbagai daerah lain, di antaranya di
Merauke, Wamena, Sorong, Nabire, dan Manokwari.
23
Aksi penurunan ini merupakan
perintah langsung dari Kapolri sebagai realisasi dari hasil Sidang Tahun MPR 2000.
24
Aparat keamanan telah secara terang-terangan menganggap bahwa hasil kongres dan
pengibaran Bintang Kejora sebagai tindakan makar dan ancaman penuh terhadap
kedaulatan NKRI. Sehingga aparat keamanan berniat membubarkan PDP sebagaimana
diungkapkan Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan agar PDP
segera dibubarkan dan menurunkan bendera bintang kejora di Irja.
25
Hingga bulan November 2000, setelah peristiwa Wamena, situasi keamanan Papua
semakin memanas. Ribuan warga pendatang di Merauke masih mengungsi di Markas
Kodim, Polres, Lanal Merauke pada malam harinya, karena sering terjadi penculikan.
26
Rasa takut juga menyebar ke daerah lain, penduduk di Jayapura baik pendatang maupun
penduduk lokal hidup dalam suasana ketakutan dan kewaspadaan tinggi.
27
Di sisi lain,
Jepang dan Uni Eropa. Lihat: KOMPAS - Sabtu, 10 Jun 2000, “Tokoh Papua Hanya Bersedia Berdialog
Dengan Presiden”
19
Mereka yang dipanggil yaitu: Thaha M Alhamid sebagai Sekretaris Umum Kongres II Rakyat Papua,
Theys Eluay sebagai Ketua PDP, dan Agus A Alua sebagai Ketua Panitia Kongres II Rakyat Papua. Lihat:
Ibid
20
Setelah ditetapkan sebagai tersangka mereka juga sempat menjadi tahanan dalam proses hukum tersebut.
Namun, sejak tanggal 15 Maret 2001 penahanan mereka ditangguhkan setelah sempat mendekam selama
104 hari. Lihat: KOMPAS - Sabtu, 17 Mar 2001 DAERAH SEKILAS.
21
KOMPAS - Selasa, 10 Oct 2000, Theys Akan Menghadap Presiden: Akbar Tandjung Sesalkan Kasus
Wamena. Lihat juga: KOMPAS - Rabu, 11 Oct 2000, Theys Imbau Warga Pendatang Tetap Tenang
22
Lihat: Laporan Awal Kasus Wamena, 4 April 2003, Oleh Koalisi LSM untuk Perlindungan Dan
Penegakan Ham Di Papua Jayapura, 6 Mei 2003
23
KOMPAS - Kamis, 09 Nov 2000, Dansatgas Port Numbay Ditangkap
24
KOMPAS - Selasa, 10 Oct 2000, Theys Akan Menghadap Presiden: Akbar Tandjung Sesalkan Kasus
Wamena
25
Lihat: KOMPAS - Rabu, 11 Oct 2000, Theys Imbau Warga Pendatang Tetap Tenang
26
KOMPAS - Kamis, 09 Nov 2000, Dansatgas Port Numbay Ditangkap
27
Ibid 8
masyarakat Papua sibuk mempersiapkan diri untuk memperingati hari jadi Papua pada
tanggal 1 Desember 2000. Pada tanggal tersebut akan dikibarkan Bendera Bintang Kejora
sesuai amanat Kongres II.
28
Untuk menghindari konflik yang terjadi, pada bulan Desember
2000 Muspida Irja berdialog dengan PDP. Muspida berjanji untuk memberdayakan sekitar
620.000 anggota Satgas Papua ke dalam berbagai bidang, misalnya sebagai polisi, atau
terjun di bidang bisnis, sopir, dan bidang lain sesuai kemampuan mereka.
29
Situasi mencekam di Papua mencapai puncak ketika tanggal 7 Desember 2000 terjadi
penyerangan terhadap Polsek Abepura dan pembakaran beberapa bangunan di sana.
Beberapa jam setelah peristiwa itu, Polres Abepura memerintahkan operasi pengejaran dan
penyisiran terhadap pelaku yang tak dikenal itu. Dalam pelaksanaannya, operasi tersebut
telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia yang dialami
masyarakat Papua.
Kondisi keamanan di Papua terus memburuk di tahun-tahun berikutnya. Di awal tahun
2001, tepatnya di bulan Maret, terjadi peristiwa pembunuhan terhadap empat karyawan
PT Darma Mukti Persada di Desa Ambumi Kecamatan Wasior. Meski pelakunya tidak
dikenal, warga meyakini aparat polisi yang melakukannya.
30
Setelah itu pada bulan April
2001, pasukan Brimob melakukan penganiayaan terhadap pasukan koteka di Desa Rasiei.
Dua orang luka terkena peluru, 15 orang ditahan Polres Manokwari dan enam orang
hilang. Dua kejadian tersebut semakin membuat warga membenci polisi. Hingga akhirnya
tanggal 12 Juni 2001 puluhan warga menyerang lima anggota Brimob di Base Camp PT
Prima Jaya Sukses Lestari (PJSL) di Desa Wondiboi, Kecamatan Wasior. Lima anggota
Brimob itu tewas, lima senjata api dan dua peti peluru di base camp dibawa kabur.
31
Aparat keamanan terus meningkatkan operasi pengejaran hingga terjadi tindak kekerasan
yang terus dilakukan aparat kepolisian terhadap warga Kecamatan Wasior sejak Juni
sampai September 2001. Akibatnya seorang guru SD meninggal secara tragis, puluhan
orang luka-luka dianiaya, diperlakukan secara tidak manusiawi, sementara ribuan warga
yang ketakutan terpaksa mengungsi ke hutan-hutan dan daerah aman lainnya. Rangkaian
peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Wasior.
Operasi-operasi anti separatisme terus berlanjut dan terus menimbulkan korban jiwa. Di
antaranya pada bulan September 2001 tokoh OPM Merauke, Willem Onde, ditemukan
tewas berlumurah darah di salah satu sungai di Asiki, pedalaman Merauke.
32
Selain itu,
tanggal 23 September 2001 dua anggota OPM tewas ditembak anggota TNI di Pos 511
Kostrad, Bonggo, Jayapura. Penembakan terjadi setelah ratusan anggota OPM dengan
senjata tradisional berusaha menyerang pos tersebut.
33
Pada bulan Oktober 2001 OPM melancarkan aksinya Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya
dengan membakar sejumlah faslitias umum,
34
dan menyerang Koramil.
35
Sebelumnya,
28
Ibid
29
KOMPAS - Jumat, 08 Dec 2000 DAERAH SEKILAS
30
Lihat: Kompas, Selasa, 18 September 2001, “Komnas HAM Dituntut Bentuk Tim Independen Kasus
Wasior”
31
Lihat: Ibid
32
Lihat: Kompas, Selasa, 25 September 2001 “Tokoh OPM Merauke Willem Onde Terbunuh”
33
Lihat: Ibid
34
Lihat: Kompas, Selasa, 2 Oktober 2001, “ DPRD Irja Kutuk Tindakan OPM di Ilaga”.
35
Lihat: Media Indonesia - Nusantara (02/10/2001 00:35 WIB), “Setelah Menyerang Koramil Ilaga, DPM
masih Kuasai Lapangan Terbang” 9
OPM menguasai Lapangan Terbang Ilaga sejak tanggal 28 September 2001.
36
Setelah
peristiwa itu, Kodam XVII/Trikora mengirimkan pasukan ke Ilaga.
37
Tanggal 04 Oktober
2001 TNI berhasil merebut Lapangan Terbang Ilaga
38
dan memulihkan keamanan di Ilaga
tanpa ada perlawan dari pihak OPM yang telah melarikan diri. Walaupun demikian, aparat
keamanan terus melakukan pengejaran.
39
Dalam melakukan operasi ini aparat keamanan
melakukan tindakan-tindakan kekeraran pula terhadap masyakat.
Operasi pengejaran dan penumpasan terhadap OPM di Papua terus berlanjut, pada tanggal
10 Oktober 2001 Markas Besar Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Hans
Youweni di sekitar Desa Marwei Kecamatan Pantai Timur, Bonggo, Irian Jaya, dikuasai
pasukan Batalyon Infantri 611.
40
Tanggal 16 Oktober, Tim Gabungan TNI-Polri yang
dipimpin Mayor Inf Isak dari Satgas Tribuana berhasil menyergap tujuh anggota Tentara
Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) di sekitar Kali Kopi,
Kecamatan Mimika Baru, Kabupaten Mimika.
41
Mereka ditangkap dan ditahan di Polres
Mimika.
42
Di bulan November 2001, sebanyak 18 anggota OPM, yang dianggap sebagai
pelaku pembakaran KM Jala Perkasa di Kecamatan Kimaam, Merauke, ditangkap aparat
Polres Merauke.
43
Sementara itu, pada tanggal 16 November 2001 Polsek Waropen Atas,
Yapen Waropen, diserang sekitar 100 anggota OPM. Selanjutnya, pengejaran dan
penyisiran dilakukan aparat Polsek.
44
Puncak dari operasi militer di tahun 2001 adalah penculikan dan penangkapan terhadap,
Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, pada bulan November 2001. Awalnya
militer menyangkal bahwa Kopassus sebagai pelakunya. Pembunuhan Theys ini telah
membuat suasana tegang di Papua semakin meningkat. Demostrasi dan kerusuhan
berlangsung di beberapa daerah di Papua.
Pada tahun 2001 aparat keamanan juga membentuk para-militer (milisi), di antaranya pada
bulan Oktober 2001 Kodim 1702 Jayawijaya membentuk Satgas dengan jumlah anggota
170 orang.
45
Pada awal 2002 tercatat pula pembentukan Barisan Merah Putih (BMP) oleh
sejumlah tokoh Papua di Jakarta (termasuk mantan wakil Gubernur, J. Djopari).
Tujuannya untuk menjaga keintegrasian Papua dalam NKRI, dan menghilangkan segala
36
Lihat: Media Indonesia - Nusantara (03/10/2001 01:24 WIB), “ Aparat Berusaha Kuasai Lapangan
Terbang Ilaga”.
37
Satuan yang dikirim ke Ilaga berasal dari Batalyon 753 dan Satgas Tribuana serta Brimob Polda Irja.
Lihat: Media Indonesia - Nusantara (03/10/2001 01:24 WIB), “ Aparat Berusaha Kuasai Lapangan Terbang
Ilaga”. Lihat juga: Media Indonesia - Nusantara (02/10/2001 00:35 WIB), “Setelah Menyerang Koramil
Ilaga, DPM masih Kuasai Lapangan Terbang”
38
Lihat: Kompas, Jumat, 5 Oktober 2001, “TNI Ambil Alih Lapangan Terbang Ilaga”.
39
Media Indonesia - Nusantara (05/10/2001 00:08 WIB), “Aparat Rebut Kembali Lapangan Terbang Ilaga
Delapan Pamen Dicopot”
40
Lihat: Kompas, Kamis, 11 Oktober 2001, “Markas Besar OPM Dikuasai TNI”.
41
Republika, Kamis 18 Oktober 2001, “TNI/Polri Sergab Tujuh Anggota OPM”
42
Lihat: Ibid
43
Lihat: Kompas, Jumat, 9 November 2001, “18 Anggota OPM Ditangkap”
44
Lihat: Kompas, Sabtu, 17 November 2001, “Polsek Waropen Atas Diserang OPM: Dua Warga Sipil Luka
Berat”
45
anggotanya berasal dari empat kecamatan terdekat, yaitu: Kecamatan Kurulu (52 orang), Kecamatan
Assologaima (50 orang), kecamatan Wamena Kota (50 orang) dan Kecamatan Kurima (18 orang). Kegiatan
Satgas ini a.l.: [1] latihan baris-berbaris, [2] apel pagi hari, [3] upacara bendera setiap hari Senin bersama
TNI di Kodim, Wamena, dan [4] mendapatkan pelajaran pembelaan negara. Lihat: Laporan Awal Kasus
Wamena, 4 April 2003, Oleh Koalisi LSM untuk Perlindungan Dan Penegakan Ham Di Papua Jayapura, 6
Mei 2003 10
kegiatan yang beraspirasi kemerdekaan. Dalam kerangka inipun Kodim membentuk
Satgas Merah Putih pada awal 2002.
46
Sementara itu, Eurico Guterres juga melakukan
aktivitas membentuk barisan milisi di Timika. Namun, aktivitasnya kemudian dihentikan
atas permintaan unsur pimpinan daerah Mimika dan Provinsi Papua.
47
Kebijakan Presiden Megawati tampak berbeda dengan Gus Dur dalam menangani masalah
Papua. Tahun 2002 operasi militer memburu separatisme terus berlanjut bahkan terjadi
penambahan pasukan di Papua. Pada tanggal 28 Mei 2002 satu kompi Pasukan Tempur
Kodam I Bukit Barisan dikirim ke Papua, bergabung dengan satuan lainnya untuk
membasmi gerakan separatisme di daerah tersebut.
48
Situasi di Papua terus tak menentu
sementara aparat keamanan semakin arogan. Pada tanggal 4 Agustus 2002 sedikitnya 20
anggota Polda Papua menganiaya Frengky Rengrenggulu di Jayapura.
49
Tindakan main
hakim sendiri 20 anggota penegak hukum itu mengakibatkan wajah Frengky babak belur,
8 buah gigi rontok dan lengan kirinya ditikam dengan sangkur.
50
Papua semakin bergolak setelah terjadi peristiwa penembakan terhadap konvoi kendaraan
karyawan P.T. Freeport di kilometer 62-63 dari Tembagapura ke arah Timika pada tanggal
13 Agustus 2002. Dalam peristiwa tersebut 3 karyawan P.T. Freeport tewas, termasuk 2
orang warga AS, dan 12 orang lainnya luka-luka.
51
Pengerahan pasukan digelar untuk
memburu para pelaku penembakan. Diduga keras pelakunya adalah militer dalam
kaitannya dengan bisnis pengamanan Freeport. Sementara pihak militer menyatakan
bahwa pelakunya adalah OPM sehingga operasi penumpasan OPM kembali mendapat
legitimasinya. Pada bulan Desember, tim gabungan Polsek Demta dan Satgas TNI yang
bertugas di daerah itu mengklaim telah menggerebek pusat logistik di Jayapura, dan
menangkap dua orang anggota OPM.
52
Sementara itu, pada tanggal 17 Desember telah
terjadi kontak senjata antara OPM pimpinan Matias Wenda dengan TNI di perbatasan
Jayapura-Papua Niugini (PNG). Peristiwa ini berawal dari penyerangan terhadap mobil
pejabat provinsi yang sedang menjemput Duta Besar RI di PNG di perbatasan.
53
Di penghujung 2002 kembali lagi terjadi peristiwa penembakan, istri dan anak Direktur
Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, serta Ny Yeni Ireuw
Meraudje ditembak oleh orang tak dikenal di perbatasan Jayapura-Papua Niugini (PNG)
saat dalam perjalanan dari Jayapura menuju Vanimo (PNG).
54
Aksi penembakan
diperbatasan tersebut terus terjadi di tahun 2003. Di antaranya di awal 2003 Konvoi tim
olah TKP Mabes Polri yang akan menyelidiki kasus penembakan istri direktur ELSHAM
diberondong peluru oleh sejumlah orang bersenjata di perbatasan RI-PNG.
55
Akibat
insiden ini Danrem 172/Praja Wira Yakti Letkol Inf Agus Mulyadi mengeluarkan perintah
pengejaran dan pengepungan terhadap OPM pimpinan Matias Wenda.
56
46
Lihat: Ibid
47
Lihat: Media Indonesia, Rabu, 03 Desember 2003, “Aparat Hentikan Kegiatan Guterres di Timika”
48
Lihat: Detik Rabu, 29/5/2002, “Satu Kompi Pasukan Tempur Kodam I/BB Dikirim ke Papua”.
49
West Papua Net. Sabtu Agustus 24, 2002 19:06:58: “Dua Puluh Anggota Polda Papua Aniaya Berat
Frengky Rarenggulu”
50
Ibid
51
Lihat: Kompas, Minggu, 1 September 2002, “Karyawan Freeport Tewas Ditembak”.
52
Kompas, Selasa, 10 Desember 2002, “Pusat Logistik OPM di Jayapura Digerebek”
53
Kompas, Rabu, 18 Desember 2002, “Kontak Senjata di Perbatasan Jayapura-PNG”
54
Lihat: Kompas, Minggu, 29 Desember 2002 Istri Direktur Elsham Papua Ditembak di Perbatasan RI-PNG
55
Media Indonesia, Kamis, 2 Januari 2003, “Tim Olah TKP Polri Ditembak di Papua”
56
Suara Pembaruan, Jumat 03 Januari 2003, “TNI Kejar OPM Pimpinan Wenda” 11
Sementara itu, OPM terus meningkatkan serangannya dengan menyerang Kodim 1702
Wamena pada tanggal 4 April 2003. Serangan itu mengakibatkan dua anggota TNI
tewas.
57
Berikutnya, TNI melakukan pengejaran dan penyisiran. Sejumlah orang ditahan
dan disiksi di Markas Kodim 1702. Bahkan salah seorang di antaranya meninggal
ditahanan karena disiksa.
58
Amnesty Internasional melaporkan bahwa TNI telah
melakukan penyiksaan terhadap sejumlah penduduk desa, ketika memburu penyerang
Kodim 1702/Jayawijaya di Wamena, Papua.
59
Pengejaran dilakukan oleh pasukan
gabungan dari Kopasus, Batalyon 413 Kostrad, dan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat
Kostrad. Pasukan. Dalam pengejaran tersebut, aparat keamanan membakar puluhan rumah
penduduk, sekolah, puskesmas dan perumahan guru serta ternak yang jumpai di kampungkampung sekitar Kuyawage.
60
Akibatnya telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia
di Wamena. Rangkaian kejadian ini dikenal dengan peristiwa Wamena.
Di samping itu, kebijakan pemerintah pusat yang membagi Provinsi Papua menjadi tiga
bagian telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pelaksanaan kebijakan tersebut
ditandai diresmikannya Provinsi Irjabar tanggal 6 Februari 2003. Kebijakan pemekaran
Papua ini telah menyebabkan situasi Papua semakin buruk akibat pro dan kontra
pemekaran. Misalnya di Provinsi Irian Jaya Tengah telah terjadi konflik antar kelompok
pro dan anti pemekaran, konflik ini kemudian menjadi perang adat di Timika pada tanggal
23-27 Agustus 2003. dalam peristiwa itu 5 orang meninggal dan 108 orang luka-luka.
Berikutnya pada tanggal 31 Agustus, terjadi pula pembunuhan terhadap 2 orang dan
melukai 4 orang warga non-Papua di Timika.
61
Pada bulan Juli 2003, Polres Jayawijaya menahan dua orang yang dituduh mengibarkan
bendera Melanesia “Bintang 14” di halaman gedung DPRD Wamena.
62
Pengibaran
“bendera 14” ini tampak sebagai penanda adanya aspirasi lain yang tumbuh di kalangan
masyarakat Papua, yaitu: Melanesia merdeka. Bendera ini kembali dikibarkan pada bulan
November 2003 di Manowari. Kemudian 50 orang yang dianggap pelaku ditangkap aparat
kepolisian.
63
Di daerah lain, pada tanggal 4 November 2003 sebuah operasi penyerangan
oleh satuan gabungan TNI di Pegunungan Jayawijaya menewaskan gembong OPM
Yustinus Murib, selain itu satuan TNI menewaskan sekitar 10 anggota OPM yang
bergerak di Pegunungan Jayawijaya Tengah.
64
Di tahun 2004, tepatnya bulan Maret seorang pempinan OPM, Leo Wresman tewas dalam
kontak senjata antara pasukan TPM/OPM dengan Satgas Kompi Rajawali Yonif 753 AFT
di Desa Kamenawari 40 km arah barat Kota Sarmi.
65
Aparat keamanan, Satgas Kompi
Rajawali Yonif 753 BKO Korem 172 PWY, terus meningkatkan operasi penyisiran di
tempat-tempat yang diduga menjadi persembunyian empat anggota kelompok GPK yang
meloloskan diri saat terjadi kontak senjata antara TNI dengan GPK. Berkaitan dengan
57
Suara Pembaruan, Jumat 04 Maret 2003, “Kodim Wamena Diserang, Dua Tentara Tewas”
58
Suara Pembaruan, Selasa 15 April 2003, “Satu Tahanan Kasus Wamena Meninggal”
59
Koran Tempo, Rabu, 16 April 2003, “Amnesti: Ada Penyiksaan di Wamena”
60
Koran Tempo, Kamis, 24 April 2003, “Elsham: 5 Kampung di Wamena Dibakar”
61
Elsham News Report, 1 September 2003, “Timika Diprovokasi, Dua Meninggal, Empat Luka-Luka”
62
KCM, Senin, 07 Juli 2003, 11:49 WIB, “Polisi Tahan Dua Pengibar Bendera "Bintang 14" di Wamena”
63
Suara Pembaruan, Kamis 27 November 200, “Polisi Tahan 50 Pengibar Bendera Melanesia Barat di
Manokwari”
64
Koran Tempo, Kamis, 6 November 2003, “Gembong Organisasi Papua Merdeka Yustinus Murib Tewas”
65
Suara Pembaruan, Sabtu 13 Maret 04, “Pimpinan OPM Tewas Ditembak" 12
operasi tersebut, seorang ibu-ibu, bernama Fransina Sawen (27), diamankan anggota TNI
di Koramil Sarmi.
66
Sementara itu, dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu tahun
2004, pada bulan April, sekelompok orang tak dikenal yang jumlah sekitar 20 orang
dengan bersenjatakan panah, tombak, kapak dan parang menghadang petugas Pengamanan
(PAM) Pemilu dan petugas Panwalu yang akan melaksanakan pendistribusian logistik di
Kampung Yowit Distrik Okaba Kabupaten Merauke.
67
Tanggal 20 April, Aparat Kepolisian bentrok dengan kelompok orang tak dikenal
bersenjata kelewang dan panah di desa Mariendi, Distrik Purwata, Kabupaten Bintuni,
Irian Jaya Barat. Akibatnya beberapa orang dari kelompok tersebut tewas.
68
Di
Manokwari, terjadi penahanan terhadap tiga orang anggota OPM, menyusul insiden
berdarah di hutan belantara distrik Babo, Kabupaten Teluk Bintuni, Irian Jaya Barat
tanggal 20 April. Dalam insiden tersebut satu orang anggota OPM tewas ditembak
pasukan Brimob.
69
Sementara di daerah Garade Kampung Munia, perbatasan Distrik
Mulia dengan Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya, pada tanggal 17 Agustus 2004, dua
anggota kelompok sipil bersenjata pimpinan Guliat Tabuni tewas tertembak dalam kontak
senjata lawan TNI selama dua jam di daerah Garage Kampung Munia.
70
Di bulan Oktober, 6 orang tewas dalam aksi penghadangan dan penembakan yang
dilakukan kelompok sipil bersenjata (KSB) terhadap iring-iringan kendaraan PT Modern
di Kampung Munia, Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.
71
Sementara di
Kabupaten Puncak Jaya, terjadi pembunuhan warga sipil non-Papua pada tanggal 12
Oktober 2004 menyusul dilakukannya operasi militer gabungan pasukan Kopasus, TNI
AD, Polisi dan Brimob yang memburu Goliat Tabuni.
72
Militer menuding kelompok
Goliat Tabuni sebagai pelakunya. Sebelumnya, pada bulan September aparat militer telah
menangkap dan akhirnya menembak mati pendeta Elisa Tabuni dalam keadaan tangan
terikat tali. Sedangkan anaknya berhasil melarikan diri dalam keadaan tangan terikat
karena tidak mengetahui keberadaan Goliat Tabuni.
73
Berikutnya, dalam rangka operasi
tersebut, militer menangkap dan mengintimidasi pendeta Yason Kogoya. Tanggal 17
Oktober, pasukan militer melancarkan operasi darat dan udara terhadap penduduk sipil.
Helikopter TNI menembak dan meluncurkan bom-bom ke perkampungan penduduk sipil.
Walaupun bom tersebut tidak meledak, menyebabkan sekitar 5000-an penduduk mengunsi
ke hutan.
74
Bergantinya Presiden setelah Pemilu 2004 belum merubah kondisi Papua. Rangkaian
kekerasan masih terjadi, di antaranya pada bulan Desember 2004 aparat kepolisian
membubarkan aksi ratusan warga Papua -- yang menamakan diri Parlemen Jalanan Rakyat
Sipil untuk Politik di Papua -- saat mengibarkan bendera Bintang Kejora di Lapangan
Trikora, Jayapura. Beberapa hari sebelumnya, aparat kepolisian telah mengeluarkan
66
Harian Cenderawasih Post, 15 Maret 2004 (Headline), “Istri GPK Diamankan TNI”
67
Harian Cenderawasih Post, 06 April 2004 (Headline), “Di Merauke, Pam Pemilu Diserang”
68
Suara Pembaruan, Rabu 21 April 2004, “Polisi Diserang di Papua, Empat Tewas”
69
Media Indonesia, Jum'at, 23 April 2004, “Polres Manokwari Tahan Tiga Anggota OPM”
70
Kompas, Kamis, 19 Agustus 2004, “Dua Anggota OPM Tewas dalam Kontak Senjata “
71
Media Indonesia, Kamis, 14 Oktober 2004, “OPM Tembaki Kendaraan Sipil Enam Orang Dikabarkan
Tewas”
72
Elsham News Service, 3 November, 2004, “Pdt. Socrates Sofyan Yoman, MA: Kasus Puncak Jaya Murni
Rekayasa Militer Mulia, Puncak Jaya”
73
Ibid
74
Ibid 13
larangan resmi.
75
Operasi penumpasan terus terjadi sepanjang tahun 2005 dan awal 2006.
Situasi yang buruk selama reformasi menjadi alasan bagi 43 warga Papua meminta suaka
di Australia di awal bulan Januari 2006. Berikutnya di bulan Januari 2006 telah terjadi
penembakan di Distrik Waghete, Kabupaten Paniai yang mengakibatkan 1 orang
meninggal dan tiga warga sipil lainnya terluka. Di bulan Februari 2006, terjadi
penembakan terhadap 3 orang pendulang emas di tepi Sungai Aikwa dalam operasi
penertiban penambangan liar di Distrik Tembagapura. Sementara pada bulan Maret 2006,
demostrasi yang menuntut penutupan P.T. Freeport berlangsung, yang diakhiri dengan
terbunuhnya beberapa aparat keamanan di depan kampus Universitas Cendrawasih.
Kekerasan sepanjang reformasi tersebut menunjukkan bahwa situasi Papua belum menjadi
baik. Begitu pula pelaksanaan Otsus belum mampu meredam gelombang kekerasan di
Papua. Rangkaian kekerasan tersebut berakibat buruk pada kondisi hak asasi manusia bagi
warga Papua. Di bawah ini disajikan beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
terjadi sepanjang reformasi.
a. Peristiwa (Abepura 2000)
Pada tanggal 7 Desember 2000 terjadi penyerangan kantor Polsek Abepura oleh
sekelompok orang bersenjata golok dan parang. Dalam peristiwa itu satu orang
anggota polisi tewas dan sejumlah lainnya luka-luka. Beberapa jam setelah
penyerangan itu Polres Jayapura menggelar operasi penyisiran dan pengejaran.
Dalam operasi tersebut telah terjadi rangkaian kekerasan yang dapat digolongkan
sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Peristiwa ini telah diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk KPP HAM.
Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia
berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesimpulan ini dijadikan dasar oleh
kejaksaan agung untuk mendakwa dua orang anggota kepolisian yang dianggap
bertanggung jawab pada Pengadilan HAM di Makassar. Tapi, akibat proses
persidangan, terutama kesaksian, yang masih di bawah standar, dua orang terdakwa
tidak dapat dibuktikan kesalahannya. Akibatnya dua terdakwa tersebut diputus bebas
oleh hakim pengadilan HAM Makassar.
b. Peristiwa Wasior (2001)
Peristiwa ini bermula dari penyerangan oleh sekelompok orang bersenjata terhadap
PT Darma Mukti Persada (DMP) di Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001.
Dalam peristiwa tersebut tiga orang pegawai PT DMP menjadi korban. Pada tanggal
13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap basecamp CV Vatika Papuana
Perkasa (VPP) di desa Wondiboi. Dalam peristiwa ini 5 orang anggota Brimob tewas
dan 1 orang warga sipil tewas. Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan
pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan ke berbagai desa dan
kecamatan di sekitar Wasior. Dalam proses pengejaran tersebut diduga telah terjadi
pula pelanggaran berat hak asasi manusia. Sehingga Komnas HAM melakukan
penyelidikan terhadap peristiwa ini. Kesimpulan hasil penyelidikan dan semua
berkasnya telah diserahkan Komnas HAM ke kejaksaan agung untuk dilakukan
75
Koran Tempo, Kamis, 2 Desember 2004 , “Polisi dan Warga Papua Bentrok Saat Peringati 1 Desember” 14
penyidikan. Tetapi, sampai sekarang hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut
belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.
c. Peristiwa Pembunuhan Theys (November 2001)
Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay hari Sabtu, 10 November
2001 diculik. Esok harinya, ia ditemukan telah tewas di di Koya Tengah, Kecamatan
Muara Tami, Kabupaten Jayapura. Jenazah Theys ditemukan tertelungkup di jok
mobil Toyota Kijang dengan wajah babak belur dan luka di pelipis, dahi, dan leher.
76
Peristiwa ini menyulut kemarahan masyarakat Sentani, daerah asal Theys. Ratusan
warga Sentani membakar dua rumah toko, dua bank (BRI dan BPD Irja), dan 12
bangunan lainnya,
77
situasi pun mencekam
78
sampai ke hari-hari berikutnya.
Penculikan yang berakhir pembunuhan ini diduga terkait erat dengan aktivitas politik
Theys dan kawan-kawannya.
79
Saat ia dibunuh, Theys berstatus sebagai tahanan luar
dan sedang diadili di Pengadilan Negeri Jayapura dengan dakwaan melakukan
sejumlah kegiatan makar dengan tujuan memisahkan Irian Jaya dari NKRI. Banyak
pihak berpendapat bahwa pembunuhan Theys adalah upaya terakhir untuk
membungkam keinginan rakyat Papua untuk merdeka.
Desakan dari berbagai pihak mengharuskan Pemerintah membentuk Komisi
Penyelidik Nasional (KPN) untuk menyelidik kasus pembunuhan Theys. KPN
menemukan adanya keterlibatan Kopassus dalam pembunuhan Theys.
Menyikapi temuan tersebut, pada tanggal 03 Januari 2003, tujuh anggota Kopassus
80
didakwa dalam pengadilan militer di Surabaya. Dakwaannya adalah secara bersamasama atau sendiri sengaja melakukan penganiayaan sehingga menyebabkan
hilangnya nyawa Theys. Pemeriksaan kasus Theys melalui pengadilan militer ini
ditolak oleh sejumlah pihak, alasan utamanya adalah karena kasus Theys adalah
pelanggaran hak asasi manusia.
Setelah beberapa kali sidang akhirnya pada bulan April 2003 pengadilan militer
memutuskan bahwa ketujuh terdakwa terbukti bersalah dan dihukum 2-3,5 tahun
penjara. Putusan ini sangat mengecewakan masyarakat Papua karena dinilai tidak
memenuhi rasa keadilan.
d. Peristiwa Wamena (2003)
Pada bulan April 2003 telah terjadi pembobolan gudang senjata api milik Kodim
Wamena. Setelah peristiwa ini TNI melakukan operasi pengejaran dan penyisiran di
sekitar kota Wamena. Dalam operasi ini telah terjadi berbagai bentuk kekerasan.
76
Lihat: “Theys Meninggal, Irian Berduka” Kompas, Senin, 12 November 2001
77
Lihat: Ibid
78
Lihat: “Masyarakat Jayapura Mulai Panik” Republlika, Minggu, 11 Nopember 2001
79
Sejak Juli 1999, ia mulai mengadakan satu kegiatan deklarasi kemerdekaan Irja, di kediamannya. Kegiatan
berikut dilancarkan 1 Desember 1999 berkait dengan peringatan Hari Ulang Tahun Irja, disertai pengibaran
bendera bintang kejora dan menyanyikan lagu Hai Tanahku Papua
80
Yaitu: Letnan Kolonel Hartomo (40), Kapten Infantri Rionardo (32), Sersan Satu Asrial (31), dan Praka
Ahmad Zulfahmi (27), Mayor Infantri Donny Hutabarat (35), Letnan Satu Agus Soepriyanto (31), dan
Sersan Satu Lauren SL (28) 15
Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dalam peristiwa ini dan menyimpulkan
telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Namun, walaupun hasil
penyelidikan Komnas HAM tersebut telah disampaikan kepada penyidik Jaksa
Agung, sampai sekarang kasus tersebut belum ada tindak lanjutnya.
2. Penetrasi Modal dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua
Saat ini setidaknya terdapat tiga situs utama sumber daya alam yang menjadi sasaran
eksploitasi di Papua, yaitu: pertambangan, kayu (hutan) dan gas alam. Tiga situ situ
dikeruk oleh perusahaan-perusahaan besar. Pertambangan diwakili oleh P.T. Freeport
Indonesia, penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan HPH, dan gas alam oleh P.T.
LNG Tangguh.
81
Beroperasinya ketiga perusahaan ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung turut menyumbang praktik-praktik pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di antaranya praktik-praktik
diskriminasi dan pelarangan atau pembatasan aktivitas ekonomi oleh pihak perusahaan,
perebutan tanah, perusakan lingkungan, dan praktik-praktik represif aparat keamanan yang
berkolaborasi dengan perusahaan.
a. Freeport
Sebelum Papua bergabung dengan NKRI, P.T. Freeport Indonesia sudah melakukan
kegiatan produksi tidak lama setelah menandatangani kontrak karya dengan
Indonesia. Gunung Ertsberg yang mengandung banyak mineral dieksploitasi.
Padahal, daerah tersebut merupakan tempat masyarakat sekitar menggantungkan
hidupnya. Berdasarkan kontraknya dengan pemerintah Indonesia, Freeport
membangun istana tempat berlangsungnya penambangan. Kota Tembagapura
dibangun, masyarakat sekitar diusir, lahan luas tempat berburu dicaplok tanpa ganti
rugi. Perlakuan seperti ini mengundang perlawanan dari masyarakat setempat, protes
masyarakat kerap mengganggu aktivitas perusahaan sehingga diperlukan
pengamanan. Ancaman dari OPM menjadi legitimasi bagi kehadiran aparat
keamanan di sekitar wilayah tambang.
Gunung Rrasberg yang bersebelahan dengan Ertberg, pada tahun 1988 ditemukan
mengandung cadangan mineral yang sangat besar. Sejak mengeksploitasi gunung
tersebut, Freeport menjadi penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia, dan
mendongkrak pentingnya Papua bagi Indonesia.
82
Kekayaan melimpah yang
dihasilkan Freeport menarik minat keluarga/kroni Soeharto dan petinggi-petinggi
militer untuk ikut menikmati kekayaan yang dihasilkan Freeport.
83
Di sisi lain,
masyarakat sekitar tidak diperhatikan dan tetap miskin. Dalam kondisi ini
kecemburuan sosial dapat saja terjadi, terutama pada masyarakat pendatang yang
terlihat berlimpah setelah ikut menikmati recehan Freeport.
81
Selain itu, terdapat pula perusahaan lain yang memperoleh ijin, terutama pertambangan di hutan lindung
setelah berlakunya Perpu Nomor 1/2004, di antaranya adalah P.T. Gag Nickel yang mendapat jatah seluas
13.138 ha di Papua, Lihat: Bisnis Indonesia, 18 Mei 2004
82
Laporan ICG Asia, Indonesia: sumber Daya dan Konflik Papua, 13 September 2002, hlm. 21
83
Ibid, hlm 22. 16
Kekerasan makin meningkat di Timika setelah terjadi penembakan karyawan
Freeport pada tahun 1994 oleh orang tak dikenal. Freeport meminta bantuan
pengamanan dari tentara sehingga AD mengirimkan pasukan tambahan. Operasi
militer digelar dan akibatnya 37 orang warga Papua telah dibunuh oleh pasukan
tentara. Freeport dan militer membawa bencana bagi kondisi hak asasi manusia di
Papua. Perlakuan tidak adil Freeport terhadap masyarakat sekitar telah pula
menyebabkan konflik antara suku Amungme dan suku Dani sehingga sebelas orang
tewas pada tahun 1997.
Arus reformasi di tahun 1998 menjadikan Freeport sebagai salah satu sasaran
reformasi. Terutama berkaitan dengan aktivitasnya terhadap lingkungan, pembagian
keuntungan, dan perlakuan adil kepada masyarakat sekitar sehingga ada tuntutan
peninjauan kembali terhadap ketentuan-ketentuan kontraknya dengan pemerintah. Di
sisi lain, walaupun Freeport telah menyadari kesalahannya – di antaranya pada tahun
2000 dan 2001 telah menandatangani kesepakatan dengan masyarakat Kamoro dan
Amungme mengenai serangkaian proyek ekonomi dan sosial
84
-- gangguan
keamanan terus meningkat di wilayah Freeport sehingga kehadiran aparat keamanan
terus dibutuhkan. Serangan-serangan terhadap Freeport kerap terjadi, misalnya pada
tanggal 25 Mei 2002 sekitar 20 orang mendobrak gedung-gedung Freeport di kota
perusahaan Kuala Kencana.
Selain itu, kebijakan Freeport telah mengakibatkan terjadinya penembakan pada
tahun 2006 di Distrik Tembagapura. Berawal dari adanya penambangan liar di
sepanjang Sungai Aikwa sebagai tempat pembuangan limbah tambang berupa
tailing. Limbah tersebut ternyata masih mengandung emas sehingga mengundang
kegiatan mendulang emas bagi masyarakat masyarakat sekitarnya, di antaranya
penduduk Kampung Wa’a dan Banti, Distrik Tembagapura. Mereka berduyun
melakukan penambangan liar dan hasilnya dijual di Kota Timika dengan harga Rp
80.000 hingga 130.000 per gram.
85
Bagi Freeport, aktivitas tersebut dinilai
mengganggu sehingga diperlukan penertiban oleh aparat gabungan petugas satuan
pengamanan Freeport. Akibatnya pada bulan Februari 2006, terjadi pengusiran dan
berakhir dengan kerusuhan yang menimbulkan korban. Di antaranya dua satpam
Freeport mengalami luka-luka akibat dipanah oleh pendulang, sementara itu 3 orang
pendulang mengalami luka tembak.
Peristiwa ini menambah kebencian masyarakat terhadap Freeport semakin
meninggkat sehingga aksi penutupan satu-satunya jalan menuju lokasi penambangan
Grasberg dari pemukiman karyawan dilakukan keesokan harinya. Aksi ini memaksa
Freeport menghentikan kegiatan penambangan selama beberapa hari. Aksi
penutupan tersebut mengundang pula aksi massa berupa unjuk rasa mahasiswa yang
dilakukan di Jakarta, Manado, dan Jayapura pada tanggal 26 Februari 2006. Aksi
berikutnya di Jakarta (27 Februari 2006) berakhir dengan bentrokan. Aksi-aksi
mahasiswa terus berlanjut hingga bulan Maret 2006 yang menuntut penutupan P.T.
Freeport. Namun, aksi ini berakhir setelah terjadi insiden berdarah di depan
Universitas Cedrawasih yang menewaskan beberapa aparat keamanan.
84
Lihat: Ibid hlm 24
85
Lihat: Kompas, Rabu, 22 February 2006, “Satpam Freeport Dipanah, Tiga Pendulang Emas Ditembak” 17
b. Perusahaan-perusahaan Kayu
Selain tambang, penebangan kayu merupakan sumber kekayaan yang cepat
mendatangkan kekayaan di Papua. Beberapa perusahaan yang beroperasi di Papua
dikuasai kalayangan dari zaman Suharto. Pemain terbesar adalah Djajanti Group,
yang pemegang sahamnya termasuk keluarga Suharto serta mantan pejabat-pejabat
tinggi dan petinggi-petinggi milter. Perusahaan lainnya adalah Barito Pacific Timber
dan Hanurata.
86
Setelah Suharto jatuh, monopoli industri hutan menghadapi
tantangan dari baru dari daerah. Misalnya pada kawasan bagian barat Sorong, hutanhutan tengah ditebang oleh pengusahan yang bekerjasama dengan Bupati Sorong
serta perwira-periwira aparat keamanan.
87
Eksploitasi besar-besaran terjadi di daerah
Sorong yang menyimpan banyak pohon merbau. Aktivitas-aktivitas illegal logging
banyak terjadi di daerah ini yang melakukan penyelundupan kayu gelondongan.
Selain itu di Bintuni juga terjadi kasus penyelundupan dan penebangan kayu ilegal
besar-besaran. Di Bintuni beroperasi P.T. Djajanti Gorup selama puluhan tahun.
88
iduga, para pelakunya di-backing orang-orang kuat.
Dalam melakukan aktivitasnya, perusahaan ini sering tidak mengindahkan batasbatas wilayah adat. Terkadang pula ganti rugi yang diberikan tidak setimpal dengan
kerugian yang dialami masyarakat. Tuntutan dari masyarakat dianggap mengganggu
aktivitas perusahaan. Sehingga perusahaan. Sehingga melegitimasi pendirianpendirian pos pengamanan di sekitar perusahaan-perusahaan tersebut. Lagipula, di
indikasikan bahwa aparat keamanan di sana melakukan bisnis kayu. Protes
masyarakat sering dihadapi dengan operasi-operasi aparat keamanan yang berakibat
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya pada tanggal 31 Maret telah
terjadi penembakan oleh sekelompok orang bersenjata terhadap tiga orang karyawan
perusahaan kayu di Wasior. Akibat peristiwa ini dikerahkan pasukan Brimob untuk
memburu para pelaku dan melindungi perusahaan kayu yang lainnya. Aksi ini
menimbulkan ketakutan luar biasa bagi masyarakat sekitar. Apalagi pada tanggal 3
Mei pasukan tersebut menyerang penduduk sipil, 6 orang dinyatakan tewas.
Sementara itu, pada tanggal 21 April 2004 telah terjadi penghadangan terhadap
aparat kepolisian yang mengawal uang ganti P.T. Djayanti Group untuk warga Babo
dari Kampung Meried ke Babo, Kabupaten Bintuni, Irian Jaya Barat. Uang Rp 150
juta rupiah dinilai tidak sepadan untuk mengganti hak ulayat seluas 250 hektar,
padahal masyarakat menuntut ganti rugi sebesar Rp 300 juta. Akibat penghadangan
itu, 2 orang penghadang tewas oleh aparat kepolisian.
89
Walaupun telah ada pelarangan illegal logging pada tahun 2001, aktivitas tersebut
terus berlangsung. Banyak pelaku illegal logging tertangkap namun proses
hukumnya terlihat mandeg. Berdasarkan siaran pers LBH Papua dan ELSHAM pada
tanggal 2004, sepanjang 2001-2004 telah terjadi lima kasus illegal logging, namun
kasus-kasus tersebut belum ditindaklanjuti pihak berwenang. Di antaranya:
• Pada tahun 2001 terdapat 8 kasus ilegal loging dengan 8 pelaku yang semuanya
warga Indonesia dengan kerugian negara 1.122 batang kayu olahan jenis merbau;
86
Lihat: Laporan ICG Asia, hlm 17
87
Lihat: Ibid
88
Kompas, Kamis, 22 April 2004, “Dua Anggota OPM Tewas Tertembak di Bintuni “
89
Kompas, Kamis, 22 April 2004, “Dua Anggota OPM Tewas Tertembak di Bintuni “ 18
• Pada tahun 2002 tendapat 7 kasus ilegal loging dengan pelaku 10 orang WNI
dengan kerugiarkan negara 2145 batang kayu log jenis merbau, 34 unit alat berat
serta 1000 M3 kayu olahan jenis merbau;
• Pada tahun 2003 terdapat 2 kasus di Desa Mayado dan desa Barma Kecamatan
Merdey Kabupaten Manokwari yang dilakukan oleh PIT Arta Mas dan PT Trilyon
Abadi Perkasa melibatkan 17 WNA asal Malaysia dan 3 WNI serta menggunakan
77 alat berat dan 840 batang kayu log jenis merbau yang saat ini masih
disidangkan di Pengadilan Negeri Manokwari;
• Pada bulan Januari 2004 pihak TNI AL telah menangkap kapal asing berbendera
Vietnam yang mengangkut ribuan kubik kayu dari Sorong yang ditaksir kerugian
negara sekitar 17 milyar namun kasus ini tidak jelas penyelesaiannya;
• Pada Januari 2004 terdapat I kasus di distrik Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni
yang dilakukan oleh PT.Marindo Utarma Jaya yang berkedudukan di Jakarta
dengan direktur Yudi Firmansyah dan melibatkan 15 WNA asal Malaysia dengan
menggunakan 117 unit alat berat, 3 tongkang, 4 unit tug boat dan 3 unit crane serta
menghasilkan 10.000 batang kayu log.
c. LNG Tangguh: Potensi Konflik dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Sumber gas bumi yang kaya di Papua mengundang perusahaan asing yang besar
untuk beroperasi di sana. Di antaranya adalah proyek LNG Tangguh yang
dilaksanakan BP. Proyek ini akan mengambil gas bumi di Teluk Berau-Bintuni di
bagian barat Papua. Sebagian besar ladangnya merupakan daerah lepas pantai, dan
menyalurkannya melalui jalur pipa menuju pabrik di daratan. Rencananya proyek ini
pada tahun 2006 sudah mulai mengeskpor gas bumi tersebut.
Proyek LNG Tangguh ini akan menggunakan lahan seluas 3.000 hektar. Di areal itu
akan terjadi pemindahan penduduk. Pada bulan Juli 2004, sekitar 101 KK dari 127
KK yang berada di Kampung Tanah Merah Lama (TML) Distrik Babo, Kabupaten
Teluk Bintuni telah memilih untuk dipindahkan ke Kampung Tanah Merah Baru
(TMB) dan 26 KK ke Kampung Onar.
Walaupun telah ada pendekatan yang sangat berbeda dengan Freeport, proyek ini
akan berakibat sangat besar terhadap petani dan nelayan yang menghuni teluk, selain
terhadap ekonomi dan masyarakat pedalaman, termasuk kota-kota Sorong,
Manokwari, dan fakfak.
90
Pencemaran lingkungan akibat aktivitas LNG Tangguh
merupakan ancaman utama bagi masyarakat Papua. Perselisihan-perselihan dengan
masyarakat setempat dapat terjadi, terutama mengenai hak atas tanah yang dijadikan
areal LNG Tangguh. Selain itu, ancaman juga datang dari aparat keamanan
walaupun masyarakat telah secara tegas menolak kehadiran aparat keamanan di
lokasi proyek.
3. Otonomi Khusus dan Kondisi Hak Asasi Manusia
Sejak 1 Januari 2002 secara resmi diberlakukan otonomi khusus (Otsus) bagi Papua, sejak
itu pula nama Irian Jaya diganti dengan Papua. Namun, pemberlakuan Otsus ini belum
90
Lihat: Laporan ICG Asia 19
disertai dengan perangkat peraturan perundang-undangan lainnya. Aktivitas pemprov pada
tahun pertama disibukkan dengan sosialisasi dan edukasi UU Otsus Papua tersebut ke
birokrasi di seluruh Papua sembari menyiapkan perangkat-perangkat pendukung, di
antaranya MRP. Dalam tahun pertama, perangkat yang paling penting, yaitu Majelis
Rakyat Papua, juga belum terbentuk akibat pemerintah pusat begitu lamban menyusun
peraturan pemerintahnya. Di sisi lain, belum siapnya Otonomi khusus, pemerintah pusat
berencana untuk melaksanakan pemekaran Papua menjadi tiga Provinsi. Rencana tersebut
telah menimbulkan pro-kontra di antara elit politik local dan masyarakat Papua. Masingmasing mendesak pemerintah untuk menjalankan pemekaran dan menghentikan
pemekaran. Sampai tahun 2003, isu politik di Papua dipanaskan dengan pro-kontra
pencabutan UU Nomor 45 Tahun 1999 dan Inpres nomor 1 tahun 2001 tentang pemekaran
wilayah Papua.
Ketidaksiapan pemeritah daerah dan pro-kontra pemekaran Papua mengakibatkan kondisi
hak asasi manusia memburuk di dua ranah sekaligus. Praktik-praktik korupsi, eksploitasi
sumber daya alam untuk mengejar pendapatan daerah, kebijakan penataan kota, dan arus
investasi yang dibuka lebar telah menambah persoalan bagi pemenuhan hak asasi manusia
di Papua. Konflik horizontal yang berujung pada kekerasan dan pelanggaran hak asasi
manusia serta kondisi Hak ekosob yang belum tertangani yang menyebabkan peristiwaperistiwa kelaparan, serangan dan wabah penyakit, gagal panen kerap terjadi di tahuntahun berikutnya. Konflik yang terjadi akibat pro-kontra pemekaran adalah Peristiwa
Timika yang terjadi pada tanggal 23 Agustus 2003. Pasca pendeklarasian propinsi Irian
Jaya Tengah, telah berakibat 8 orang meninggal dunia, 112 orang luka-luka, aksi
pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya serta beberapa individu mendapat teror dan
intimidasi.
Di Papua setidaknya terdapat tiga wabah penyakit yang belum tertangani dengan baik, di
antaranya adalah HIV/AIDS, Muntaber, dan TBC. Dalam kasus penyebaran HIV/AIDS,
Provinsi Papua yang berpenduduk 2,3 juta jiwa dikategorikan siaga satu plus. Sampai
Desember 2002, terdapat 1.263 kasus dari 724 1.263, terdiri dari 724 HIV dan 539 AIDS.
Kasus besar di Merauke, yakni 527 kasus terdiri 307 AIDS dan 220 HIV. Pada bulan
maret saja di Merauke terdapat lebih dari 600 kasus HIV/AIDS.
91
Laju penyebaran virus
ini hampir 95% ditularkan melalui hubungan seksual.
92
Sementara itu, pada tahun 2003,
data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Papua sampai akhir Agustus 2003
terdapat 1018 kasus yang terdiri dari 382 AIDS dan 636 HIV.
93
Dalam kasus muntaber, di awal tahun 2004 diberitakan sebanyak 38 warga Distrik Borme,
Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, meninggal dunia akibat terserang diare. Kasus
diare ini mewabah di 10 desa di Kecamatan Borme. Kesepuluh desa tersebut adalah Desa
Sigipur, Arima, Orban, Taramlu, Nongge, Palur, Weime, Humharu, Werde, dan Desa
Borme. Saat itu jumlah penderita diare sebanyak 1.857 orang, kasus terbesar terdapat di
Desa Taramlu, yakni sekitar 270 orang.
94
Sementara itu di tahun 2006 diberitakan pula
sekitar 100 warga Kabupaten Jayawijaya dilaporkan meninggal dunia akibat muntah berak
yang melanda daerah itu sepanjang 13 Maret-24 April 2006. Wabah ini menyerang sekitar
630 orang. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Jayawijaya, jumlah korban meninggal
91
Kompas, Selasa 27 May 2003, Papua Masuk Kategori Siaga Satu dalam Kasus HIV/AIDS
92
Kompas, Selasa 27 May 2003, Papua Masuk Kategori Siaga Satu dalam Kasus HIV/AIDS
93
Harian Papua Pos, 25 september 2003, “Berdasarkan data Dinkes di Papua 1.018 Kasus HIV/AIDS”
94
Kompas, Kamis, 29 Januari 2004, 38 Warga Papua Meninggal akibat Terserang Diare “. 20
akibat wabah muntah berak (muntaber) sejak 13 Maret-23 April 2006 mencapai 90 orang.
Sementara korban meninggal di RSUD Wamena per 24 April 2006 sebanyak 10 orang
sehingga total korban meninggal dunia sebanyak 100 orang. Kebanyakan para korban
berasal dari Kota Wamena dan distrik di sekitar Wamena.
95
Wabah muntaber ini terus
menyebar ke beberapa wilayah di Kabupaten Jayawijaya, tercatat 9 distrik terserang, di
antaranya Kurulu, Hom-Hom, Musatfak, Wamena, Pugima, Assolokobal, Bolakme,
Asologaima, dan Hubikosi. Korban terus meningkat hingga pada akhir April 2006 tercatat
total korban mencapai 2.090 orang dan 141 orang meninggal dunia.
96
Sementara itu, terdapat juga penyakit TBC yang belum tertangani di Papua. Tercatat
setidaknya sebanyak 200 orang lebih di Pegunungan Bintang menderita.
97
Ancaman
lainnya adalah gizi buruk dan kelaparan. Pada tahun 2003 tercatat sekitar Sekitar 27,3
persen balita masih menderita kekurangan gizi.
Ancaman kelaparan terus menghantui Papua, pada tahun 2000 telah terjadi kelaparan di
Bonggo, sebelah timur Jayapura, yang mengakibatkan 17 Transmigran mati kelaparan.
Sebagian besar disebabkan kekurangan makan dan kondisi hidup yang sangat buruk. Pada
tahun 2006 kelaparan terjadi di Yahukimo.
PENUTUP
Permasalahan di Papua yang terjadi selama ini telah berakibat serius terhadap kondisi hak
asasi manusia di Papua. Situasi seperti ini tidak pernah disikapi oleh pemerintah Indonesia
secara bijaksana, tetapi malah sebaliknya sebaliknya menerapkan kebijakan-kebijakan
instan secara sepihak yang makin menambah persoalan di Papua.
Rangkaian peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, baik semasa orde baru
maupun peristiwa yang terjadi semasa reformasi belum diselesaikan secara baik.
Penyelesaian yang ada, misalnya kasus Pembunuhan Theys dan kasus Abepura Desember
2000 sangat mengecewakan masyarakat Papua. begitu pula dengan kasus-kasus lainnya,
seperti kasus Wasior dan Wamena hingga kini belum kelihatan hasilnya. Ketidakseriusan
pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia telah menambah rasa
kekecewaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia.
95
Kompas, Rabu 26 April 2006, “Muntaber Renggut Jiwa 100 Warga Jayawijaya”.
96
Suara Pembaruan, Sabtu 29 April 2006
Wabah Muntaber Serang Jayawijaya,153 Meninggal
97
Harian Papua Post, 10 September 2003, “Ratusan Warga Terserang TBC di Pegunungan Bintang:
Penyakit Framboesia Juga Diderita Warga”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar