Tragedi berdarah di Ambon dan sekitarnya bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebelum peristiwa Iedul Fithri 1419H berdarah, tercatat beberapa peristiwa penting yang dianggap sebagai pra-kondisi, bahkan jauh ke belakang pada tahun 1995. Beberapa peristiwa itu (sebagian) adalah sebagai berikut.1)
15 Juni 1995: Desa berpenduduk Islam, Kelang Asaude (Pulau Manipa), diserang warga Kristen Desa Tomalahu Timur, pada waktu Shubuh. Penyerangan dikoordinasikan oleh empat orang yang nama-namanya dicatat oleh MUI.
21 Pebruari 1996 (Hari Raya Iedul Fithri) : Desa Kelang Asaude diserang lagi. Serangan dilakukan oleh warga Tomahalu Timur dengan menggunakan batu dan panah. Tiga hari sebelumnya, serombongan orang yang dipimpin oleh sersan (namanya tercatat) datang ke Desa Asaude, menangkap raja (kepala desa) berikut istri dan anak-anaknya. Mereka menggeledah isi rumah dan menginjak-injak peralatan keagamaan.
18 Nopember 1998: Korem 174 Pattimura didemo. Sejumlah besar mahasiswa Unpatti (Universitas Pattimura) dan UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku), yang dimotori oleh organisasi pemuda dan mahasiswanya menghujat Danrem Kolonel Hikayat. Demonstrasi berlangsung dua hari. Mereka membakar beberapa mobil keamanan, melukai tukang becak, dan merusak serta melempari kaca kantor PLN Cabang Ambon. Jatuh korban luka-luka, baik di pihak mahasiswa maupun kalangan ABRI.
Beberapa bulan sebelumnya, berlangsung desas-desus dan teror. Isu pengusiran orang-orang Bugis-Buton-Makassar (BBM) sudah beredar di tengah masyarakat yang membuat gelisah banyak orang. Mereka kurang bisa membedakan suku Bugis dan Makassar. Kedua suku ini sebenarnya adalah satu. Orang-orang Muslim suku lain (non-Maluku) juga diisukan untuk diusir. Produksi pesanan senjata tajam ditengarai sangat tinggi. Pesanan dilakukan oleh kelompok tertentu.
Isu pengusiran BBM memang berbau SARA, terutama yang menangkut suku dan agama. Entah bagaimana awalnya dari dalam Gereja. yang tepat, isu BBM bertiup dengan kencang dari kalangan Kristen, bahkan kabarnya disuarakan oleh Gereja.
Menjelang akhir Nopember 1998: Sekitar 200 preman Ambon dari Jakarta, yang bekerja sebagai penjaga keamanan tempat judi pulang kampung. Merekalah yang memulai bentrok dengan penduduk Ketapang (Jakarta). Karena umat Islam Jakarta marah, mereka dikepung. Beberapa darinya tewas. Sejumlah besar yang lain diminta masyarakat agar dievakuasi oleh aparat keamanan. Sebagian dari mereka - sekitar 200 orang - inilah yang pulang ke Ambon.
Beberapa 'Test Case' Sebelum Iedul Fithri Berdarah
Setidaknya, ada tiga peristiwa penting yang dapat dianggap sebagai bagian dari tragedi Iedul Fithri berdarah 1999. Ketiga peristiwa itu adalah peristiwa Wailete tanggal 13 Desember 1998, peristiwa Air Bak 27 Desember 1998, dan peristiwa Dobo 14 dan 19 Januari 1999.
Peristiwa-perista di atas adalah sebuah 'test case' yang dinilai berhasil mendeteksi keberanian, persatuan dan kesatuan serta kesiapan Ummat Islam se-Ambon untuk berperang. Kesabaran Ummat Islam yang tengah menyongsong bulan Ramadhan itu dianggap suatu kelemahan terutama penilaian terhadap suku Bugis-Buton-Makassar yang kurang kompak. Atas dasar penilaian demikian itu tampaknya dijadikan peluang untuk mengobarkan Tragedi Iedul Fithri Berdarah. Hal ini terbukti dengan tiba-tiba didatangkan ratusan preman dari Jakarta, eks-konflik Jalan Ketapang, Jakarta sebagai pelaku di lapangan.
Serangan Massa Kristen ke Desa Wailete
13 Desember 1998 : Desa Wailete yang merupakan perkampungan Muslim masyarakat asal Bugis-Buton-Makasar (BBM) diserang oleh warga Kampung Hative Besar (Kristen). Ratusan massa Kristen menyerbu dengan batu, dan membakar kampung Wailete. Serangan dilakukan dua kali pada malam itu dimana tahap kedua dilakukan secara tuntas membakar habis semua rumah sehingga penghuni hanya menyelamatkan diri dengan baju yang melekat di badan saja. Empat rumah dilaporkan terbakar dan satu kios bensin milik orang Bugis terbakar dan meledak. Penduduk desa tersebut mengungsi.2)
Tidak pernah ada kejelasan penyelesaian dalam peristiwa itu. Bahkan polisi tampak ragu menghadapi ancaman warga desa Hative Besar. Keraguan aparat ini tampak jelas sebagai hasil penghujatan selama demo dengan pecahnya insiden Batu Gajah. Dalam rangkaian penghujatan lewat berbagai media massa sebagian berpendapat bahwa oknum Polri telah berhasil digalang untuk melaksanakan rencana mereka. Surat kabar Suara Maluku tidak memberitakan peristiwa besar ini secara proporsional, dua kali pemberitaan yang tidak jelas kemudian menghilang, padahal kasus Batu Gajah diberitakan luar biasa bahkan tulisan-tulisan dengan ungkapan Anjing dan Babi masih berulang selama sebulan.
Ummat Islam yang menjadi panas karena solidaritas Islamiyahnya sebenarnya mengharapkan adanya reaksi protes, pembelaan dan pertolongan yang memadai tetapi hal itu tidak terjadi karena para pemimpinnya memang lemah dan tidak ada tokoh pemersatu. Warga masyarakat desa Hative Besar telah membuktikan secara nyata isu yang berkembang bahwa suku Bugis-Buton-Makassar dan Jawa-Sunda akan diusir dari Ambon.
Setelah aksi pembakaran itu para tokoh desa Hative Besar mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak akan menerima kedatangan suku Bugis-Buton-Makasar lagi ke desa Wailete, karena itu desa Wailete tidak pernah dibangun lagi, bahkan parapenghuni yang telah melarikan diri itu tak berani mengunjungi bekas kampungnya. Pemerintah daerah tidak memasukanpembakaran desa Wailete ini kedalam program rehabilitasi, dianggap bukan dalam rangka kerusuhan Ambon.3)
Serangan Massa Kristen ke Desa Air Bak Akhir Desember 1998
27 Desember 1998 : Desa Air Bak, yang hanya berpenduduk sekitar 8 keluarga beragama Islam (desa kecil) diserbu warga Desa Tawiri yang mayoritas beragama Kristen. Pertikaian ini diawali ketika ada Babi peliharaan masyarakat Tawiri memasuki kebun masyarakat desa Bak Air, hal seperti ini biasa terjadi. Menghalau dengan lemparan batu saja Babi akan keluar dari kebun. Kali ini, kejadian ini dijadikan masalah oleh orang Kristen Tawiri. Orang-orang Muslim dilempari batu. Tidak ada penyelesaian, malah warga Muslim yang ditahan polisi.
5 Januari 1999 : Di tengah masyarakat beredar isu akan tejadinya kerusuhan pada Hari Raya Iedul Fithri, meski beberapa penyampaian di antaranya dengan bahasa yang disamarkan. Di bagian lain bisa dibaca bagaimana isu itu berkembang di Kampung Batu Gantung Waringin. Seluruh rumah di situ dibakar dan diruntuhkan. Kampung ini dihuni oleh mayoritas orang Bugis.
Tragedi Berdarah di Dobo, Maluku Tenggara
14 Januari 1999 : Kerusuhan pecah di Dobo, kecamatan Pulau Aru (Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara). Korban tewas delapan orang. Penyerangan dilakukan oleh kelompok Kristen tersebut bukanlah yang pertama kali. Sekitar satu bulan sebelumnya sempat terjadi kontak senjata tradisional meski dengan skala yang lebih kecil di tempat yang sama.
19 Januari 1999: Hari Raya Iedul Fithri. Kerusuhan pecah lagi di Dobo, setelah umat Islam melaksanakan sholat Ied. Dikabarkan 14 orang terbunuh, 10 orang di antaranya adalah orang Kristen. Sebanyak 55 rumah habis terbakar.
Ketiga peristiwa di atas jelas telah direncanakan sebelumnya dalam rangka mencoba rencana besar mereka, yakni pembantaian Muslim Ambon di Hari Raya Iedul Fithri. Kerusuhan Dobo (14/1) layak dianggap sebagai awal meletusnya Kerusuhan Ambon. Cukup banyak anggota TNI yang dikirim ke Dobo sehingga kekuatan TNI di Ambon berkurang dalam jumlah yang berarti. Jumlah sisanya tidak mampu berbuat apa-apa di kota Ambon pada tanggal 19 dan 20 Januari, sebelum datangnya bala bantuan TNI dari tempat lain. Apalagi kemudian, di Dobo, pada Iedul Fithri, juga pecah kerusuhan lanjutan yang cukup besar.4)
Dikaitkan dengan Tragedi Iedul Fithri Berdarah, rentetan ketiga peristiwa di atas harus dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan, atau sebagai 'babak pertama' dari seluruh babak yang berjudul 'Tragedi Iedul Fithri Berdarah'. Seandainya ummat Islam di Ambon menyatakan protes keras kepada pihak Kristen yang berpura-pura tidak tahu maka mereka akan ragu memasuki 'babak kedua', yaitu adegan 'Tragedi Iedul Fithri Berdarah'. Dengan kata lain Tragedi Iedul Fithri Berdarah itu belum tentu bisa terjadi karena uji cobanya tidak berhasil, Ummat Islam masih siap dan kompak, siaga menghadapi setiap kemungkinan.
Begitu pula Polri, jika betul-betul profesional dan bersungguh-sungguh dalam menangani kasus di atas, termasuk datangnya ratusan orang kiriman itu, maka peristiwa yang amat menyakitkan Ummat Islam se Indonesia ini mungkin tidak akan terjadi. Begitu juga kegelisahan masyarakat luas akibat munculnya kabar burung bahwa akan ada kekacauan besar ketika Shalat Iedul Fithri. Jadi sesungguhnya tragedi ini merupakan ketidak-profesionalan TNI atau lemahnya TNI akibat penghujatan. Jelas ini merupakan peluang yang mulus bagi golongan untuk merencanakan rencana makarnya.
Marilah kita lihat tragedi ini sebagai salah satu bukti rencana strategis pihak Kristen yang teratur dan terencana, sehingga berhasil demikian baiknya.5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar