Ujian Nasional ini dianggap begitu gawat sehingga tim elit kepolisian ini terpaksa diturunkan. Tak pernah rasanya kita mendengar adanya school assessment di negara lain yang diperlakukan begitu gawat seperti di Indonesia. Mungkin Indonesia adalah satu-satunya negara yang memperlakukan proses ujian sekolahnya dengan begitu gentingnya. Mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro sampai heran dan menilai keterlibatan Detesemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri dalam pengawasan Ujian Nasional tersebut tidak wajar. “Guru adalah pendidik bukanlah antek-antek teroris.” Ucap beliau. Tapi siapa yang mau mendengar mantan Mendiknas ini?
Mengapa Kemdiknas harus melakukan penjagaan yang begitu gawatnya? Ternyata karena Ujian Nasional ini dicurangi di mana-mana dan hampir semua daerah melakukan kecurangan baik itu secara individual, berkelompok, sporadis, terorganisir, terencana dan sistematis, dan melibatkan hampir semua pihak mulai dari siswa itu sendiri, para guru dan kepala sekolahnya, dan bahkan kepala dinasnya. Laporan tentang kecurangan dan ketidakjujuran ini begitu masif dan merata di semua daerah, mulai dari daerah yang jauh terpencil sampai di pusat ibukota negara sendiri. Densus 88 sendiri berhasil mencokok 16 guru dan seorang kepala Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk Pakam 2 sebagai tersangka pelaku kecurangan UAN
Mengapa Kemdiknas harus melakukan penjagaan yang begitu gawatnya? Ternyata karena Ujian Nasional ini dicurangi di mana-mana dan hampir semua daerah melakukan kecurangan baik itu secara individual, berkelompok, sporadis, terorganisir, terencana dan sistematis, dan melibatkan hampir semua pihak mulai dari siswa itu sendiri, para guru dan kepala sekolahnya, dan bahkan kepala dinasnya. Laporan tentang kecurangan dan ketidakjujuran ini begitu masif dan merata di semua daerah, mulai dari daerah yang jauh terpencil sampai di pusat ibukota negara sendiri. Densus 88 sendiri berhasil mencokok 16 guru dan seorang kepala Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk Pakam 2 sebagai tersangka pelaku kecurangan UAN
Apakah para guru dan siswa menjadi kapok dengan kejadian ini? Tidak. Kecurangan dan ketidakjujuran dalam mengerjakan UN masih terus berlangsung sampai kini dengan masif dan terorganisisir secara sistematis. Rasanya tak ada negara lain yang ujian sekolahnya dicurangi secara masif dan sistematis seperti Ujian Nasional kita. Tak ada.
Mengapa itu semua terjadi? Ada apa dengan dunia pendidikan kita? Mengapa para guru dan kepala sekolah beramai-ramai mencurangi ujian nasional dengan tanpa mengenal malu atau pun takut? Bukankah sekolah adalah tempat di mana kejujuran sebagai benteng moral diajarkan dan ditegakkan? Mengapa tiba-tiba para pendidik yang semestinya menjadi benteng moral justru melakukan tindakan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan itu sendiri? Mengapa himbauan, ancaman, sanksi, hukuman dan bahkan penjagaan super ketat tidak mampu mencegah terjadinya kecurangan dan ketidakjujuran Ujian Nasional? Tak ada masa ketika UN tidak dicurangi. Bahkan hasil penelitian Balitbang Kemdiknas pada hasil UN yang berupa laporan berjudul Indeks Obyektifitas menunjukkan hasil yang sangat mengejutkan. Hampir 90% hasil UN siswa di seluruh Indonesia ditengarai terjadi kecurangan yang bertingkat-tingkat derajat kecurangannya mulai dari 10% sampai dengan 100%. Sekitar 9 dari 10 sekolah melakukan kecurangan, demikian kesimpulan dari laporan Indeks Obyektifitas tersebut. Pemerintah tahu akan hal ini tapi tidak ada tindakan yang dilakukan jika mereka tidak tertangkap tangan dan Ujian Nasional yang penuh kecurangan tersebut terus dilanjutkan hanya dengan menambah pengetatan pengawasan. Siapa tahu suatu kali pemerintah akan terpaksa harus mengerahkan militer dengan Kopassusnya untuk menjaga Ujian Nasional ini agar bisa mencegah terjadinya kecurangan ini. Tapi mudah-mudahan tidak karena ini hanya akan menambah kekonyolan bangsa kita saja.
Pertanyaannya adalah bisakah pemerintah menghentikan kecurangan Ujian Nasional ini dan mengapa kita sebagai bangsa GAGAL TOTAL melaksanakan sebuah Ujian Nasional yang jujur?
Kecurangan Ujian Nasional dan ketidakjujuran para peserta dan penyelenggara ujian nasional yang kita baca secara rutin di media tidak akan mungkin bisa dihentikan meski Kemdiknas mengerahkan aparat militer sekali pun. Kecurangan dan ketidakjujuran UN ini adalah buah dari perbuatan ZALIM dan ketidakadilan pemerintah terhadap para siswa, orang tua, guru, sekolah, dan daerah. Mereka merasa diperlakukan dengan sewenang-wenang dan mereka melakukan pembangkangan dengan melawan sikap otoriter pemerintah tersebut.
Mengapa guru atau pihak sekolah senekat itu memperjuangkan kelulusan siswa? Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar (PB) PGRI Abduhzen menjelaskan bahwa para guru, apalagi sekolah, merasa memiliki kewajiban meluluskan siswa. Dan jika banyak siswa yang tidak lulus maka itu adalah kesalahan mereka. Padahal, menurut Abduhzen, rata-rata setiap kepala daerah meminta angka kelulusan 90 persen hingga 97 persen dan jika angka kelulusan di bawah itu maka sekolah akan menghadapi masalah besar. Kepala daerah menekan kepala dinas pendidikan dan kepala dinas pendidikan menekan sekolah (kepala sekolah dan guru). Kepala sekolah dan para guru menjadi terjepit. Jika mereka tidak bisa memenuhi target yang ditetapkan kepala daerah tersebut maka mereka akan menghadapi resiko besar. Guru dan kepala sekolah bisa dimutasi ke sekolah lain, terhambat kenaikan pangkatnya, atau resiko lain yang mengancam karir mereka. Sangat sedikit dan sangat jarang ada sekolah yang berani menghadapi resiko ini. Untuk itu, dibentuklah tim sukses di setiap sekolah. Kejujuran mereka kalahkan untuk menghadapi resiko besar ini.
Mengapa guru atau pihak sekolah senekat itu memperjuangkan kelulusan siswa? Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar (PB) PGRI Abduhzen menjelaskan bahwa para guru, apalagi sekolah, merasa memiliki kewajiban meluluskan siswa. Dan jika banyak siswa yang tidak lulus maka itu adalah kesalahan mereka. Padahal, menurut Abduhzen, rata-rata setiap kepala daerah meminta angka kelulusan 90 persen hingga 97 persen dan jika angka kelulusan di bawah itu maka sekolah akan menghadapi masalah besar. Kepala daerah menekan kepala dinas pendidikan dan kepala dinas pendidikan menekan sekolah (kepala sekolah dan guru). Kepala sekolah dan para guru menjadi terjepit. Jika mereka tidak bisa memenuhi target yang ditetapkan kepala daerah tersebut maka mereka akan menghadapi resiko besar. Guru dan kepala sekolah bisa dimutasi ke sekolah lain, terhambat kenaikan pangkatnya, atau resiko lain yang mengancam karir mereka. Sangat sedikit dan sangat jarang ada sekolah yang berani menghadapi resiko ini. Untuk itu, dibentuklah tim sukses di setiap sekolah. Kejujuran mereka kalahkan untuk menghadapi resiko besar ini.
Bagaimana kalau Ujian Nasional ini dilakukan dengan bersih dan tanpa ada kecurangan?
Berdasarkan hasil penelitian PGRI, jika UN dilakukan secara sportif dan objektif, angka kelulusan siswa hanyalah berkisar antara 40 persen hingga 50 persen. Angka itu bisa semakin anjlok untuk sekolah-sekolah terpencil. Jadi siapa yang berani mengambil resiko?! Tak ada daerah yang mau daerahnya hanya lulus 40%, umpamanya, karena masyarakat mereka pasti akan demo besar-besaran dan kepala daerahnya akan dicacimaki dianggap tak mampu dan tak cakap dan mungkin akan dilengserkan.
Apakah jika sebuah daerah hanya bisa meluluskan sekitar 40% maka itu sepenuhnya merupakan kesalahan daerah tersebut? Tentu saja tidak. Kesalahan terbesar adalah pada pemerintah pusat yang menetapkan sebuah ujian yang berskala nasional padahal belum mampu memberikan standar pendidikan yang berskala nasional.
Apakah rakyat tidak pernah melawan ketidakadilan ini? Tentu saja. Mereka bahkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung untuk meminta Pemerintah menghentikan UN yang tidak adil dan sewenang-wenang ini lewat gugatan Kristiono. Gugatan yang dilayangkan pada tahun 2009 tersebut meminta pemerintah meninjau ulang sistem ujian nasional dan gugatan ini dimenangkan. Mahkamah Agung melarang Ujian Nasional yang digelar Departemen Pendidikan Nasional. Alasannya, para tergugat, yakni presiden, wakil presiden, menteri pendidikan nasional, dan ketua badan standar nasional pendidikan telah lalai memenuhi kebutuhan hak manusia di bidang pendidikan dan mengabaikan peningkatan kualitas guru. Kasasi yang diajukan oleh Pemerintah melalui Kemdiknas ditolak, yang artinya Kemdiknas harus menghentikan Ujian Nasional tersebut.
Apakah Kemdiknas menghentikan Ujian Nasional karena adanya larangan tersebut? Anehnya tidak! Pemerintah yang dalam hal ini Kemdiknas membangkang atas keputusan MA tersebut dan tetap bersikukuh dengan UN-nya. Karena pemerintah membangkang atas putusan MA maka pemerintah daerah dan sekolah juga melawan dengan melakukan pembangkangan juga. Pembangkangan dilawan dengan pembangkangan yang sama. Ini pertarungan kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar di luar nalar. Rasanya tak pernah kita mengalami situasi pendidikan yang begitu musykil seperti saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar